Memasuki dunia politik ibarat tangan
memegang sebuah pisau. Kemungkinan terjadi
2 hal, positif atau negatif. Jika, memanfaatkan sebuah pisau untuk
mengupas buah, maka terjadi hal positif.
Sebaliknya, menggunakan pisau untuk menusuk orang, kejadian ini berdampak
negatif. Sama halnya dalam rana politik. Memasuki dunia politik bertujuan untuk
melindungi dan mensejahterakan rakyat, maka ibarat filosofi penggunaan pisau
yang pertama. Tetapi, jika berpolitik untuk kepentingan pribadi, seperti pisau
yang digunakan untuk melukai orang lain.
Penting sekali berpikir jangka panjang
sebelum memasuki dunia politik, kalau memang mampu dan yakin membawa perubahan
tidak ada masalah. Namun, kebanyakan para toko politik sebelum dan sesudah
terjun sangat berbeda. Sebelumnya berkoar-koar akan memberantas ketidak
sesuaian, memaksimalkan kedudukan, dan berjanji tidak mengambil hak rakyat.
Buktinya, disaat mereka sudah berada di titik keemasaan, tidak lagi membutuhkan
suara rakyat, mereka seakan-akan lupa akan janji-janji manis saat berkampanye.
Meski, bukan semua toko politik terpengaruh arus seperti itu, tetapi tidak
sedikit sebagian dari mereka telah terbukti.
Miris melihat dunia politik di era
sekarang, kata “politik” seakan tidak ada sedikitpun kebaikan ketika terdengar
di telinga masyarakat. Sangat berbeda dengan arti politik yang sebenarnya. Padahal
menurut teori klasik Aristoteles politik adalah usaha yang ditempuh warga
negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Melihat sekelumit pengertian tentang
politik tersebut sangat mudah dipahami, bahwa pada dasarnya politik adalah
usaha untuk perubahan dalam hal kebaikan. Selama ini, pemikiran masyarakat
terhadap politik harus direkonsiliasi. Menganggap politik itu kotor, politik
itu tempat para koruptor, memvonis seperti itu memang tidak salah. Namun, perlu
diketahui bahwa yang kotor itu bukan politiknya, melainkan orang-orang yang
menyalahgunakan kedudukan dalam berpolitik. Hal ini yang harus bisa dirubah mindset
masyarakat terlebih dahulu, agar harapan terhadap toko politik bersih nantinya
masih sangat-sangat terjadi.
Revolusi mental yang dicanangkan oleh
Presiden Republik Indonesia ke 7, Bapak Jokowi sangat tepat diterapkan didunia
berkembang seperti Indonesia. Karena dibalik kekayaan akan Sumberdaya Alam dan
Sumberdaya Manusia, Indonesia masih mengalami kemiskinan moral (degadensi
moral). Ironisnya, degradasi moral tidak pada masyarakat yang notabennya masih
berpendapatan rendah. Melainkan, pada mereka yang biasa berkendaraan mewah, pandai
beretorika, memakai jas berdasi dan berkedudukan tinggi.
Baru-baru ini membooming berita tentang
Menteri korupsi, kegaduan saat sidang DPR, efek pilpres yang sampai sekarang
masih belum terakomodir, dan masih banyak lagi. Inilah yang menjadi bukti bahwa
Indonesia masih miskin moral, sehingga para toko-toko yang strata pendidikannya
tinggi masih belum bisa dijadikan tolak ukur tingginya integritas. Jika
dikaitkan dalam kalimat “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, maka sangat relevan
apa yang terjadi di era sekarang. Ibarat pohon adalah para toko politik dan
buah adalah rakyat. Tindakan kriminal yang sehari-hari diberitakan atas ula
masyarakat, seperti pencurian, tawuran, dll. Tidak lain semua itu seperti
prilaku yang telah ditularkan oleh para elit. Lalu, bagaimana mungkin rakyat
bisa damai sejahtera, sedangkan mereka (para toko elit) masih enggan untuk
dijadikan sebuah percontohan.????
Melihat serba-serbi moral yang melintas
di benak kaum individualis. Sangat perlu adanya kebijakan serta aktualisasi
secara cepat dan tepat. “Revolusi Mental” seakan menjadi kalimat yang tepat
untuk mengawali bangkitnya suatu perubahan moral. Dibalik itu, perlu adanya
sasaran yang menjadi prioritas utama untuk kebijakan revolusi mental. Dalam hal
ini, adalah para toko politik. Kedudukan mereka di Negara ini seperti orang tua
dalam keluarga. Maka, sudah sepantasnya mereka memiliki prilaku baik. Karena mereka adalah figur yang menjadi percontohan bagi rakyat.