Pages

Senin, 10 November 2014

Revolusi Mental Para Toko Politik, adalah Prioritas Utama

Memasuki dunia politik ibarat tangan memegang sebuah pisau. Kemungkinan terjadi  2 hal, positif atau negatif. Jika, memanfaatkan sebuah pisau untuk mengupas buah, maka terjadi  hal positif. Sebaliknya, menggunakan pisau untuk menusuk orang, kejadian ini berdampak negatif. Sama halnya dalam rana politik. Memasuki dunia politik bertujuan untuk melindungi dan mensejahterakan rakyat, maka ibarat filosofi penggunaan pisau yang pertama. Tetapi, jika berpolitik untuk kepentingan pribadi, seperti pisau yang digunakan untuk melukai orang lain. 

Penting sekali berpikir jangka panjang sebelum memasuki dunia politik, kalau memang mampu dan yakin membawa perubahan tidak ada masalah. Namun, kebanyakan para toko politik sebelum dan sesudah terjun sangat berbeda. Sebelumnya berkoar-koar akan memberantas ketidak sesuaian, memaksimalkan kedudukan, dan berjanji tidak mengambil hak rakyat. Buktinya, disaat mereka sudah berada di titik keemasaan, tidak lagi membutuhkan suara rakyat, mereka seakan-akan lupa akan janji-janji manis saat berkampanye. Meski, bukan semua toko politik terpengaruh arus seperti itu, tetapi tidak sedikit sebagian dari mereka telah terbukti.  

Miris melihat dunia politik di era sekarang, kata “politik” seakan tidak ada sedikitpun kebaikan ketika terdengar di telinga masyarakat. Sangat berbeda dengan arti politik yang sebenarnya. Padahal menurut teori klasik Aristoteles politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Melihat sekelumit pengertian tentang politik tersebut sangat mudah dipahami, bahwa pada dasarnya politik adalah usaha untuk perubahan dalam hal kebaikan. Selama ini, pemikiran masyarakat terhadap politik harus direkonsiliasi. Menganggap politik itu kotor, politik itu tempat para koruptor, memvonis seperti itu memang tidak salah. Namun, perlu diketahui bahwa yang kotor itu bukan politiknya, melainkan orang-orang yang menyalahgunakan kedudukan dalam berpolitik. Hal ini yang harus bisa dirubah mindset masyarakat terlebih dahulu, agar harapan terhadap toko politik bersih nantinya masih sangat-sangat terjadi. 

Revolusi mental yang dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia ke 7, Bapak Jokowi sangat tepat diterapkan didunia berkembang seperti Indonesia. Karena dibalik kekayaan akan Sumberdaya Alam dan Sumberdaya Manusia, Indonesia masih mengalami kemiskinan moral (degadensi moral). Ironisnya, degradasi moral tidak pada masyarakat yang notabennya masih berpendapatan rendah. Melainkan, pada mereka yang biasa berkendaraan mewah, pandai beretorika, memakai jas berdasi dan berkedudukan tinggi. 

Baru-baru ini membooming berita tentang Menteri korupsi, kegaduan saat sidang DPR, efek pilpres yang sampai sekarang masih belum terakomodir, dan masih banyak lagi. Inilah yang menjadi bukti bahwa Indonesia masih miskin moral, sehingga para toko-toko yang strata pendidikannya tinggi masih belum bisa dijadikan tolak ukur tingginya integritas. Jika dikaitkan dalam kalimat “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, maka sangat relevan apa yang terjadi di era sekarang. Ibarat pohon adalah para toko politik dan buah adalah rakyat. Tindakan kriminal yang sehari-hari diberitakan atas ula masyarakat, seperti pencurian, tawuran, dll. Tidak lain semua itu seperti prilaku yang telah ditularkan oleh para elit. Lalu, bagaimana mungkin rakyat bisa damai sejahtera, sedangkan mereka (para toko elit) masih enggan untuk dijadikan sebuah percontohan.????

Melihat serba-serbi moral yang melintas di benak kaum individualis. Sangat perlu adanya kebijakan serta aktualisasi secara cepat dan tepat. “Revolusi Mental” seakan menjadi kalimat yang tepat untuk mengawali bangkitnya suatu perubahan moral. Dibalik itu, perlu adanya sasaran yang menjadi prioritas utama untuk kebijakan revolusi mental. Dalam hal ini, adalah para toko politik. Kedudukan mereka di Negara ini seperti orang tua dalam keluarga. Maka, sudah sepantasnya mereka memiliki prilaku baik. Karena mereka adalah figur yang menjadi percontohan bagi rakyat.