Pages

Rabu, 04 Maret 2015

Menuju Zaman Kebijaksanaan

Sesuai pengantar artikel sebelumnya, bahwa peradaban zaman terdapat 5 tahapan : peradaban zaman berburuh atau memperoleh makanan, peradaban zaman pertanian, peradaban zaman industry, peradaban zaman pengetahuan/informasi dan peradaban zaman kebijaksanaan.  Masing-masing peradaban terdapat pola pikir manusia yang berbeda-beda. Peradaban zaman semakin berkemajuan, maka berpengaruh terhadap pola pikir manusia yang tengah mengalami pembaharuan.

Pada zaman berburu dan memporeh makanan, manusia lebih menggunakan otot dibanding akal. Berburu menggunakan panah, batu atau pentungan. Sedangkan diperadaban zaman pertanian, manusia 50 kali lipat dapat meningkatan produktivitas. Mampu mandiri, memanfaatkan lahan untuk bertani dan beternak. Setelah itu, peradaban zaman industri (zaman kebendaan). Dimana peradaban zaman ini telah mengubah pola pikir manusia. Manusia lebih termotivasi untuk kaya secara financial dibanding menciptakan ruang kreativitas. Sehingga 90 persen aktor dizaman pertanian beralih pola pikir, mereka memutuskan untuk bekerja disebuah perusahaan dikota-kota besar. Mereka mau dikekang dengan aturan, asalkan kebutuhan mereka terpenuhi.

Sekarang,  peradaban zaman industri mampu tergeser oleh peradaban zaman yang hari ini kita alami. Yaitu peradaban zaman informasi/pengetahuan. Hal ini telah terbukti dengan mudahnya akses internet dimana-mana, mudah berkomunikasi antar negara dll. Tentu peradaban zaman ini berdampak pada tenaga kerja peradaban industri, mereka ditantang untuk belajar kerangka pikir baru, seperangkat keahlian baru, dan peralatan baru untuk menghadapi zaman ini. Sehingga aktor di zaman industri kini banyak yang beralih profesi, mereka memilih untuk belajar dan memperdalam ilmu pengetahuan. Karena di zaman ini, manusia yang berpotensi lebih di percaya dan di berdayakan.  Meski begitu, belum 100 persen zaman informasi/pengetahuan mampu menggeser peradaban zaman industri, tetapi kita harus yakin bahwa sebentar lagi 90 % aktor di peradaban zaman industri beralih untuk masuk ke zaman informasi/pengetahuan.

Tidak menutup kemungkinan juga, sebentar lagi peradaban zaman kebijaksanaan mampu menggeser peradaban zaman informasi/pengetahuan. Dimana pada peradaban zaman ini, kekayaan finansial dan jabatan tidak lagi menjadi hal utama. Melainkan, sumbangsih berbentuk pengabdian, pemberdayaan, pemberian kemanfaatan terhadap sesama yang tengah menjadi modal untuk mengenalkan jati diri sebagai manusia.  Bukan berlandaskan sebuah kebendaan (harta kekayaan).

Cobalah kita menganalisa, bahwa sebenarnya peradaban zaman kebijaksanaan sudah kita mulai. Pelatihan atau pengembangan manusia kini mulai berdiri diberbagai tempat, lahirlah ustadz-ustadz baru diberbagai media dan banyaknya orang berpenghasilan rendah tapi memiliki kepedulian yang tinggi. Hal ini, telah mengindikasikan bahwa manusia di peradaban zaman kebijaksanaan lebih mementingkan kemanfaatan bagi orang lain dibanding diri sendiri.

"Dan masyarakat sama sekali tidak siap untuk itu." Kalimat tersebut merupakan sebuah pernyataan dari Peter Drucker. Seorang pemikir manajemen tersebut meramal bahwa manusia nantinya masih belum siap untuk menjadi pemain di peradaban zaman kebijaksanaan.

Oleh karena itu, agar nantinya kita mampu menjadi aktor di zaman kebijaksanaan, 4 hal yang harus sesegera mungkin kita bangun. Yaitu,  VISI, DISIPLIN, GAIRAH dan NURANI.

Visi
Visi berarti melihat keadaan masa depan dengan mata batin, dengan pikiran kita. Visi adalah imajinasi terapan. Semua hal diciptakan dua kali: pertama, merupakan ciptaan pikiran. kedua, ciptaan fisik, dalam wujud bendanya. Ciptaan pertama, yaitu visi, adalah awal dari proses penemuan diri, atau proses penemuan diri organisasi. Visi mewakili keinginan, impian, harapan, tujuan, dan rencana. Tetapi impian atau visi itu bukan hanya sekadar fantasi. Visi adalah realitas yang belum benar-benar terwujud secara fisik; seperti cetak biru dari sebuah rumah sebelum rumah itu dibangun, atau notasi musik yang menunggu untuk dimainkan.
Menetapkan visi merupakan langkah pertama yang harus dibangun sebelum masuk secara utuh di peradaban zaman kebijaksanaan. Visi harus proposional dan relalistis. Dan yang paling penting visi bukan untuk mensejahterakan dirinya sendiri tetapi dikaitkan pada peradaban zaman kebijaksanaan. Yaitu lebih memprioritaskan untuk kepentingan orang lain (memberikan manfaat). Misal, nanti ingin menjadi pengusaha agar bisa menciptkan lapangan kerja bagi orang-orang yang membutuhkan, jangan mempunyai visi ingin menjadi pengusaha agar terbilang orang kaya, mempunyai rumah mewah, dll.

Disiplin
Disiplin itu mewakili "ciptaan yang kedua" (setelah ciptaan pertama dalam bentuk visi). Disiplin itu adalah pelaksanaannya, yang membuat terjadi, suatu pengorbanan yang mau tak mau harus kita lakukan untuk mewujudkan visi. Disiplin adalah kekuatan kehendak yang diwujudkan dalam tindakan.
Disisi lain disiplin merupakan membayar harga yang harus dibayar untuk mewujudkan visi tersebut. Disiplin inilah yang menangani fakta keras dan pragmatis dari realitas kehidupan kita, dan melakukan apa saja yang diperlukan agar sesuatu bisa terwujud. Disiplin akan muncul bila visi bertemu dengan komitmen. Kebalikan dari disiplin dan komitmen yang membuat kita rela untuk berkorban adalah sikap mendahulukan keinginan sesaat (indulgence), yaitu mengorbankan hal-hal yang amat penting dalam kehidupan kita, hanya demi kenikmatan atau kesenangan sesaat.
Tanpa visi dan pengharapan, menerima realitas itu bisa membuat kita tertekan dan patah semangat. Kebahagiaan kadang-kadang didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengalahkan apa yang kita kehendaki sekarang terhadap apa yang kita inginkan di belakang hari. Nah, disiplin tidak lain adalah pengorbanan pribadi ini—yaitu proses mengalahkan kesenangan sekarang demi kebaikan yang lebih besar dan berjangka panjang.
Banyak orang menyamakan disiplin dengan tiadanya kebebasan. Katanya, "keharusan membunuh spontanitas." Lagi, "tak ada ke- bebasan dalam keharusan." "Saya ingin melakukan apa yang saya inginkan. Itulah kebebasan, bukan tugas."
Pada kenyataannya, sebaliknyalah yang benar. Hanya orang- orang yang disiplin yang benar-benar bebas. Orang-orang yang tidak disiplin adalah budak dari suasana hatinya, budak kesenangan dan nafsu-nafsunya.

Gairah
Gairah adalah api, hasrat, dan kekuatan yang tumbuh dari keyakinan, serta dorongan yang mempertahankan disiplin untuk terus berjuang menggapai visi. Gairah muncul bila kebutuhan bertemu dengan bakat unik kita. Gairah iru muncul kalau kita menemukan dan memanfaatkan suara kita untuk menggapai tujuan yang luhur atau besar. Kalau kita tidak memiliki gairah seperti itu, kekosongannya akan diisi dengan perasaan tidak aman, dan omong kosong dari ribuan suara yang yang mewujudkan cermin sosial. Dalam lingkungan pergaulan dan organisasi, gairah juga mencakup welas asih {compassion).
Kunci untuk menciptakan gairah dalam hidup  adalah menemukan bakat unik, peran, dan tujuan khusus  di dunia ini. Penting sekali mengerti diri kita sebelum memutuskan pekerjaan apa yang hendak kita lakukan.* Falsafah Yunani, "Kenalilah dirimu, kendalikan dirimu, berikan dirimu" disusun dengan sangat indah dan bijak. Bakat, misi, atau peran hidup seseorang biasanya lebih sering dideteksi daripada diciptakan.

Nurani
Nurani adalah kesadaran moral kita mengenai apa yang baik dan buruk, dan dorongan untuk menggapai makna dan memberi sumbangan nyata. Nurani adalah kekuatan yang mengarahkan kita dalam menggapai visi, mendayagunakan disiplin dan gairah hidup. Nurani amat bertentangan dengan kehidupan yang didominasi oleh ego atau keakuan kita.

Nurani adalah suara yang lembut dan pelan dalam batin kita. Nurani  itu tenang dan damai, sedangkan ego bersifat tiran, kejam, dan senang memaksakan kehendak. Ego atau keakuan kita memfokuskan diri pada kelangsungan hidupnya sendiri, kesenangannya sendiri, perkembangannya sendiri sampai-sampai tega menyingkirkan orang lain, dan memiliki ciri ambisius yang bersifat egoistik. Ego melihat hubungan dengan kacamata "ini ancaman, ini bukan", seperti anak kecil yang melakukan klasifikasi, "Orang ini baik" atau "Orang ini jahat". Sebaliknya, nurani mendemokratiskan ego dan mengangkat ego ke suatu pemahaman yang lebih luas, seperti ke arah kesadaran kelompok, komunitas, masyarakat, demi kebaikan yang lebih besar. Nurani memandang kehidupan dengan kacamata pelayanan dan pemberian sumbangan atau penciptaan jasa; fokusnya adalah keamanan dan kepenuhan orang lain.



Athif
Malang, 04 Maret 2015