Sesuai
pengantar artikel sebelumnya, bahwa peradaban zaman terdapat 5 tahapan :
peradaban zaman berburuh atau memperoleh makanan, peradaban zaman pertanian,
peradaban zaman industry, peradaban zaman pengetahuan/informasi dan peradaban
zaman kebijaksanaan. Masing-masing
peradaban terdapat pola pikir manusia yang berbeda-beda. Peradaban zaman semakin
berkemajuan, maka berpengaruh terhadap pola pikir manusia yang tengah mengalami
pembaharuan.
Pada zaman
berburu dan memporeh makanan, manusia lebih menggunakan otot dibanding akal.
Berburu menggunakan panah, batu atau pentungan. Sedangkan diperadaban zaman
pertanian, manusia 50 kali lipat dapat meningkatan produktivitas. Mampu
mandiri, memanfaatkan lahan untuk bertani dan beternak. Setelah itu, peradaban
zaman industri (zaman kebendaan). Dimana peradaban zaman ini telah mengubah
pola pikir manusia. Manusia lebih termotivasi untuk kaya secara financial
dibanding menciptakan ruang kreativitas. Sehingga 90 persen aktor dizaman
pertanian beralih pola pikir, mereka memutuskan untuk bekerja disebuah perusahaan
dikota-kota besar. Mereka mau dikekang dengan aturan, asalkan kebutuhan mereka
terpenuhi.
Sekarang, peradaban zaman industri mampu tergeser oleh
peradaban zaman yang hari ini kita alami. Yaitu peradaban zaman informasi/pengetahuan.
Hal ini telah terbukti dengan mudahnya akses internet dimana-mana, mudah
berkomunikasi antar negara dll. Tentu peradaban zaman ini berdampak pada tenaga
kerja peradaban industri, mereka ditantang untuk belajar kerangka pikir baru,
seperangkat keahlian baru, dan peralatan baru untuk menghadapi zaman ini. Sehingga
aktor di zaman industri kini banyak yang beralih profesi, mereka memilih untuk
belajar dan memperdalam ilmu pengetahuan. Karena di zaman ini, manusia yang
berpotensi lebih di percaya dan di berdayakan.
Meski begitu, belum 100 persen zaman informasi/pengetahuan mampu
menggeser peradaban zaman industri, tetapi kita harus yakin bahwa sebentar lagi
90 % aktor di peradaban zaman industri beralih untuk masuk ke zaman
informasi/pengetahuan.
Tidak
menutup kemungkinan juga, sebentar lagi peradaban zaman kebijaksanaan mampu
menggeser peradaban zaman informasi/pengetahuan. Dimana pada peradaban zaman
ini, kekayaan finansial dan jabatan tidak lagi menjadi hal utama. Melainkan,
sumbangsih berbentuk pengabdian, pemberdayaan, pemberian kemanfaatan terhadap
sesama yang tengah menjadi modal untuk mengenalkan jati diri sebagai
manusia. Bukan berlandaskan sebuah
kebendaan (harta kekayaan).
Cobalah
kita menganalisa, bahwa sebenarnya peradaban zaman kebijaksanaan sudah kita
mulai. Pelatihan atau pengembangan manusia kini mulai berdiri diberbagai
tempat, lahirlah ustadz-ustadz baru diberbagai media dan banyaknya orang
berpenghasilan rendah tapi memiliki kepedulian yang tinggi. Hal ini, telah
mengindikasikan bahwa manusia di peradaban zaman kebijaksanaan lebih
mementingkan kemanfaatan bagi orang lain dibanding diri sendiri.
"Dan masyarakat sama sekali tidak siap
untuk itu." Kalimat tersebut merupakan sebuah pernyataan dari Peter
Drucker. Seorang pemikir manajemen tersebut meramal bahwa manusia nantinya
masih belum siap untuk menjadi pemain di peradaban zaman kebijaksanaan.
Oleh
karena itu, agar nantinya kita mampu menjadi aktor di zaman kebijaksanaan, 4
hal yang harus sesegera mungkin kita bangun. Yaitu, VISI, DISIPLIN, GAIRAH dan NURANI.
Visi
Visi berarti
melihat keadaan masa depan dengan mata batin, dengan pikiran kita. Visi adalah
imajinasi terapan. Semua hal diciptakan dua kali: pertama, merupakan ciptaan pikiran. kedua, ciptaan fisik, dalam wujud bendanya. Ciptaan pertama, yaitu
visi, adalah awal dari proses penemuan diri, atau proses penemuan diri
organisasi. Visi mewakili keinginan, impian, harapan, tujuan, dan rencana.
Tetapi impian atau visi itu bukan hanya sekadar fantasi. Visi adalah realitas
yang belum benar-benar terwujud secara fisik; seperti cetak biru dari sebuah
rumah sebelum rumah itu dibangun, atau notasi musik yang menunggu untuk
dimainkan.
Menetapkan
visi merupakan langkah pertama yang harus dibangun sebelum masuk secara utuh di
peradaban zaman kebijaksanaan. Visi harus proposional dan relalistis. Dan yang
paling penting visi bukan untuk mensejahterakan dirinya sendiri tetapi
dikaitkan pada peradaban zaman kebijaksanaan. Yaitu lebih memprioritaskan untuk
kepentingan orang lain (memberikan manfaat). Misal, nanti ingin menjadi
pengusaha agar bisa menciptkan lapangan kerja bagi orang-orang yang
membutuhkan, jangan mempunyai visi ingin menjadi pengusaha agar terbilang orang
kaya, mempunyai rumah mewah, dll.
Disiplin
Disiplin itu
mewakili "ciptaan yang kedua" (setelah ciptaan pertama dalam bentuk
visi). Disiplin itu adalah pelaksanaannya, yang membuat terjadi, suatu
pengorbanan yang mau tak mau harus kita lakukan untuk mewujudkan visi. Disiplin
adalah kekuatan kehendak yang diwujudkan dalam tindakan.
Disisi lain
disiplin merupakan membayar harga yang harus dibayar untuk mewujudkan visi
tersebut. Disiplin inilah yang menangani fakta keras dan pragmatis dari
realitas kehidupan kita, dan melakukan apa saja yang diperlukan agar sesuatu
bisa terwujud. Disiplin akan muncul bila visi bertemu dengan komitmen.
Kebalikan dari disiplin dan komitmen yang membuat kita rela untuk berkorban
adalah sikap mendahulukan keinginan sesaat (indulgence), yaitu mengorbankan
hal-hal yang amat penting dalam kehidupan kita, hanya demi kenikmatan atau
kesenangan sesaat.
Tanpa visi
dan pengharapan, menerima realitas itu bisa membuat kita tertekan dan patah
semangat. Kebahagiaan kadang-kadang didefinisikan sebagai kemampuan untuk
mengalahkan apa yang kita kehendaki sekarang terhadap apa yang kita inginkan di
belakang hari. Nah, disiplin tidak lain adalah pengorbanan pribadi ini—yaitu
proses mengalahkan kesenangan sekarang demi kebaikan yang lebih besar dan
berjangka panjang.
Banyak orang
menyamakan disiplin dengan tiadanya kebebasan. Katanya, "keharusan
membunuh spontanitas." Lagi, "tak ada ke- bebasan dalam
keharusan." "Saya ingin melakukan apa yang saya inginkan. Itulah
kebebasan, bukan tugas."
Pada
kenyataannya, sebaliknyalah yang benar. Hanya orang- orang yang disiplin yang
benar-benar bebas. Orang-orang yang tidak disiplin adalah budak dari suasana
hatinya, budak kesenangan dan nafsu-nafsunya.
Gairah
Gairah
adalah api, hasrat, dan kekuatan yang tumbuh dari keyakinan, serta dorongan yang
mempertahankan disiplin untuk terus berjuang menggapai visi. Gairah muncul bila
kebutuhan bertemu dengan bakat unik kita. Gairah iru muncul kalau kita
menemukan dan memanfaatkan suara kita untuk menggapai tujuan yang luhur atau
besar. Kalau kita tidak memiliki gairah seperti itu, kekosongannya akan diisi
dengan perasaan tidak aman, dan omong kosong dari ribuan suara yang yang
mewujudkan cermin sosial. Dalam lingkungan pergaulan dan organisasi, gairah
juga mencakup welas asih {compassion).
Kunci untuk
menciptakan gairah dalam hidup adalah menemukan bakat unik, peran, dan
tujuan khusus di dunia ini. Penting sekali mengerti diri kita sebelum memutuskan pekerjaan apa yang hendak kita lakukan.* Falsafah Yunani,
"Kenalilah dirimu, kendalikan dirimu, berikan dirimu" disusun dengan
sangat indah dan bijak. Bakat, misi, atau peran hidup seseorang biasanya lebih
sering dideteksi daripada diciptakan.
Nurani
Nurani
adalah kesadaran moral kita mengenai apa yang baik dan buruk, dan dorongan
untuk menggapai makna dan memberi sumbangan nyata. Nurani adalah kekuatan yang
mengarahkan kita dalam menggapai visi, mendayagunakan disiplin dan gairah
hidup. Nurani amat bertentangan dengan kehidupan yang didominasi oleh ego atau
keakuan kita.
Nurani
adalah suara yang lembut dan pelan dalam batin kita. Nurani itu tenang dan damai, sedangkan ego bersifat
tiran, kejam, dan senang memaksakan kehendak. Ego atau keakuan kita memfokuskan
diri pada kelangsungan hidupnya sendiri, kesenangannya sendiri, perkembangannya
sendiri sampai-sampai tega menyingkirkan orang lain, dan memiliki ciri ambisius
yang bersifat egoistik. Ego melihat hubungan dengan kacamata "ini ancaman,
ini bukan", seperti anak kecil yang melakukan klasifikasi, "Orang ini
baik" atau "Orang ini jahat". Sebaliknya, nurani
mendemokratiskan ego dan mengangkat ego ke suatu pemahaman yang lebih luas,
seperti ke arah kesadaran kelompok, komunitas, masyarakat, demi kebaikan yang
lebih besar. Nurani memandang kehidupan dengan kacamata pelayanan dan pemberian
sumbangan atau penciptaan jasa; fokusnya adalah keamanan dan kepenuhan orang
lain.
Athif
Malang, 04 Maret 2015
Athif
Malang, 04 Maret 2015