Pages

Minggu, 26 April 2015

Tertidur di alam surga . .

Kalau saja ada rating negara terkaya di dunia, mungkin Indonesia juaranya. Negara ini memiliki berbagai macam suku, agama, ras dan budaya. Bermacam-macam bahasa dan sumberdaya alam melimpah. Sumberdaya alam yang berpotensi, lautan layaknya kolam susu. Ombak lautan yang tenang, kain dan jala cukup menghidupi. Karena ombak tak seperti badai sehingga para nelayan dinegeri ini harusnya mujur. Hal ini berbeda di Jerman, ombak lautan bagai badai menerpa. Sehingga nelayan butuh awak kapal tak cukup berukuran seperti sampan, harus besar dan kuat. Agar tidak terkapar oleh besarnya ombak lautan. 

Begitu juga tanah Indonesia yang subur laksana surga. Bisa menampung dan menumbuhkan berbagai macam tumbuhan dan buah-buahan, hutan belantara berada di beberapa daerah dan persawahan mampu dijadikan lahan produktivitas. Sebagai modal penghidupan para petani. Kekayaan Indonesia sungguh luarbiasa. Tanahnya yang subur, lagi-lagi berbeda dengan negara macan Asia. Negara yang terkenal dengan restauran meiji, kedisiplinan tinggi dan sistem keizan/haisen. Yaitu Jepang. Negara yang tanahnya gersang nan tandus akibat bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Sehingga tanah negara ini mengalami kelumpuhan. Terbatas, tidak bisa menampung segala macam bentuk tumbuhan dan buah-buahan. 

Memang Indonesia ini kaya. 
Tetapi kekayaan itu ternyata tidak menjamin kesejahteraan. Contoh kecil para nelayan. Meski lautan bagai kolam susu, tetapi hari ini masih banyak mereka para nelayan yang bergumam pesimis. Mereka kolektif mengkritik dan menuntut pemerintah. Mereka beranggapan apalah guna lautan kolam susu kalau kebijakan tidak memihaknya. Kebutuhan pokok semakin hari semakin mahal, menjadikan para nelayan enggan untuk berlayar. Mereka memilih turun jalan sembari demonstransi menuntut keadilan. Tapi, apalah daya itu semua. Pemerintah sekilas mendengarkan aspirasi itu, tapi selang beberapa jam kemudian semua itu seperti angin berlalu. 

Kontras lautan Indonesia dengan negara Hitler. Lautan di Jerman tak seelok kolam susu. Sampan tak bisa digunakan untuk berlayar. Tetapi kenapa kesejahteraan para nelayan di negara ini lebih terjamin. Mungkin, karena ekstrimnya pencarian ikan menjadikan para nelayan tidak manja. Mereka mau bekerja keras walau harus berlayar menggunakan kapal besar. Atau karena kebijakan pemerintah Jerman yang tengah memihak dan diterima para nelayan. 

Sekarang, tanah Indonesia sepertinya tak pantas lagi disebut tanah surga. Akibat banyaknya hutan gundul dimana-mana, luasnya perkebunan yang kuasai oleh investor asing, dunia pertanian yang kini mulai terpandang sebelah mata. Sebagian mereka menganggap sekarang bukanlah zaman orde baru. Yang bukan lagi pertanian sebagai lahan modal hidup. Melainkan dunia industri yang lebih menghidupi. Sehingga aktor pertanian orde baru kini beralih memilih bekerja di sebuah pabrik. Mereka mau bekerja dibawah naungan para kapitalis. 

Indonesia harusnya unggul dibanding Jepang. Karena sumber daya alam yang tak sebanding. Tanah surga dibanding tanah gersang nan tandus. Tetapi?? lagi-lagi Indonesia terlena akan kesuburan tanah yang dimiliki. Para petani dan pemerintah tertidur dialam surga. Mereka lumpuh dan tak mampu bangkit kembali. Hasil pertanian kian stagnan. Negara kaya alam tetapi tak mampu mensejahterakannya sendiri, melainkan justru disejahterakan oleh negara lain. Impor beras dari 5 negara pemasok. Thailand, India, Paksitan, Vietnam dan Pakistan. Sungguh miris, sedangkan tanah Jepang memang gersang. Tetapi dari sinilah orang-orang di negara ini berpikir maju. Mereka dituntut untuk berpikir karena keterbatasan kekayaan sumber daya alam. Keterbatasan alam tersebut mampu melahirkan pekerja keras. Sehingga kerja keras membuat orang-orang di negara ini menjadi pemikir hebat. Menciptakan tanah diatas tanah gersang. Menciptakan ekonomi kreatif yang kini telah dikonsumsi oleh seluruh negara didunia. 


Athif
Malang, 27 April 2015