Pages

Minggu, 16 November 2014

Pelajaran dari "Anak Jalanan"

Belajar tidak selamanya dari orang-orang terpandang seperti guru, dosen, dsb. Adakalanya kita belajar dari sebuah realita kehidupan, dimana kita mampu mencari  sesuatu yang berharga dan bermanfaat untuk dijadikan sebuah pembelajaran. Apabila bersinergi membiasakan hal demikian, InsyaAllah rasa syukur atau pikiran positif akan selalu menjadi cermin kita.

Hari ini, 16 November 2014 saya mendapat pelajaran bukan dari bangku sekolah atau kuliah. Melainkan dari komunitas yang selama ini hanya dipandang sebelah mata oleh kaum opurtunis. Dicaci, dikerdilkan bahkan dikucilkan. Adalah sebuah pelajaran dari mereka para "Anak Jalanan". Selama ini, mindset masyarakat terhadap anak jalanan masih bersifat serba rendah. "Jembatan adalah atap rumah, Jalanan bagai tempat bersekolah, meminta-minta adalah pekerjaan utama" Itulah anggapan yang sampai sekarang masih melekat dibenak masyarakat mengenai anak jalanan. Padahal, semua itu terasa berbeda seketika saya mengetahui secara langsung tentang kehidupan para Anak Jalanan. 

Pagi setengah siang. Saya berkunjung ke suatu kegiatan yang ditempatkan di SD Muhammadiyah 1 Malang. Kegiatan bertajuk "Hijab Cirety" tersebut kebetulan dihandle oleh teman seorganisasi. Sehingga leluasa untuk bertanya tentang apapun mengenai Kegiatan, dan seketika saya mendengar dari seorang teman bahwa sasaran/peserta adalah para anak jalanan, saya merasa heran "Tidak biasanya peserta ditujukan pada Anak Jalanan, terus mereka pakai baju apa, transportasi apa, apa mereka mau??" dalam hati ini berujuar demikian. 

Tatkala 15 menit kemudian. Terdapat segerombolan laki-laki dan perempuan berjalan memakai seragam bertuliskan "griya baca" menuju ke tempat lokasi kegiatan. Dibarisan belakang terdapat seorang bapak dan ibu yang tengah berkepala 5. Saat itu, sama sekali saya tidak mengira bahwa mereka adalah para anak jalanan. Penampilan mereka tidak mencerminkan anak jalanan yang biasa ditampilkan disosial media. Kebanyakan dari mereka memakai baju dan celana yang biasa dipakai orang lain. Celana jin dan kaos berseragam. Uniknya, mereka datang bukan sekedar tangan kosong. Melainkan membawa beberapa alat musik seperti gitar dan gendang. 

Setelah peserta telah memasuki ruangan. Saya ngobrol di luar ruangan dengan bapak yang tengah mengantarkan. Isi obrolan tidak lain masalah kehidupan mereka para anak jalanan. Pertama, Bapak tersebut menjelaskan bahwa telah lama mengasuh para anak jalanan sejak tahun 2005. Kedua, tidak seperti yang biasa dicerna oleh masyarakat bahwa anak jalanan tidak bersekolah. Realitanya, para anak jalanan tersebut tengah mengenyam pendidikan yang berbeda-beda. Ada yang tengah bersekolah di SMK, di SMP 1 bahkan telah mengarungi dunia kerja. Ketiga, Latar belakang mereka, sebagian dari keluarga yang tidak mampu. Namun ada juga yang masih kecil sudah ditinggal oleh orang tuanya. Keempat, biasanya setiap hari selasa ada kegiatan membaca Al-Qur'an dan hari kamis belajar bersama. Keseharian mereka biasanya dialun-alun kota. 

Mendengar pernyataan yang telah di berikan oleh bapak tersebut pandangan saya mengenai anak jalanan berbalik 180 derajat. Ditambah, kreativitas berupa seni musik yang telah ditampilkan oleh mereka sebelum memulai materi. Sungguh mengagumkan. Lagu pertama yang dinyanyikan berasal dari ciptaan sendiri berjudul "Topeng Kehidupan". Dilanjutkan sebuah lagu yang berjudul, "Jalanan adalah sekolah". Benar-benar seperti suara hati yang tersalurkan oleh sebuah lagu. Dalam lirik lagu mencerminkan bahwa mereka berkreasi bukan tradisi, mereka memang anak jalanan adalah sekolah tetapi jangan dianggap sebagai sampah, mereka berkarya untuk hidupkan dunia dengan seni dan peran budaya, untuk bergerak berontak karena keadilan tak ada, dijalanan bukan sebuah pelarian tetapi mereka disana tumbuh dan berkembang. 
Setelah usai menyanyi, ibu pengasuh mereka angkat bicara dengan menjelaskan latar belakang seorang vokalis bernama "Yuni". Seorang wanita yang dulunya pernah bersekolah, tetapi tidak sempat lulus karena ayahnya meninggal sejak kelas 2 SMA. Kemudian, dia memutuskan untuk keluar dan bekerja demi membantu seorang ibu. Sampai sekarang dia masih bekerja bagian operasional di perusahaan konveksi baju.  

Dalam hal ini, pelajaran sangat berharga yang seharusnya kita ambil dari kehidupan mereka para Anak Jalanan. Latar belakang tidak menghalangi semangat untuk terus belajar, memanfaatkan jalanan untuk ajang kreativitas dan meskipun bermodal tangan kosong mereka mampu berproduktif.

Semangat
Meski, Anak jalanan bukan berasal dari keluarga yang utuh tetapi semangatnya tidak pernah padam. Mereka memanfaatkan jalanan sebagai sarana untuk berkumpul dan belajar. Jika dibanding dengan kita, rumah sudah punya. Sekolah mewah menjadi tempat belajar. Orang tua sebagai daya biaya. Tidakkah kita malu terhadap mereka yang setiap harinya tidak bertemu orang tua tetapi begitu semangat untuk belajar. Bahan mereka rela belajar bersama diatas rumput alun-alun kota.

Kreativitas
Terkadang terlalu diikat menjadikan seseorang sulit berkreasi. Mereka yang tergolong anak orang kaya biasanya terlalu dimanja, sehingga setiap keinginan terhadap sesuatu selalu dituruti. Sulit untuk berkembang. Berbeda dengan kebiasaan "Anak Jalanan". Tidak mungkin mereka menyertakan orang tua untuk berbuat sesuatu, mereka menyadari sehingga mau tidak mau melakukan segalanya dengan tangan sendiri. Mereka bebas melakukan apapun, sehingga inilah yang mendorong dan menjadikan mereka untuk lebih berkreatif. Buktinya sebuah lagu berjudul "topeng kehidupan" telah menjadi sigle ciptaanya. Disisi lain, mereka memiliki skill untuk memainkan alat-alat musik.

Produktivitas
Seperti halnya vokalis bernama "Yuni". Dia memang termasuk bagian dari anak jalanan. Umurnya masih 19 tetapi sudah mampu mencari uang sendiri.
Hal ini yang wajib kita renungkan. Mereka yang tidak bermodal apa-apa tetapi menghasilkan sesuatu yang berharga. Sebaliknya. Mampukah kita yang telah bermodal dari orang tua bisa berproduksi lebih dari mereka????