Berbicara tentang manusia, yang tergambar adalah berbagai prespektif. Pakar filusuf mengatakan bahwa manusia adalah hewan rasional (animal rational), (animal simbolik). Hal ini dikarenakan manusia bekomunikasi melalui simbol dan menafsirkan. (Homo feber), manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja. Ada pula yang menilai bahwa manusia disebut sebagai homo ludens (makhluk senang bermain), dan manusia sebagai homo sapiens, bersikap arif karena memiliki akal budi dan mengungguli makhluk lain.
Bebagai prespektif filusuf terhadap penilaian makhluk "Manusia", maka sejatinya kita sebagai subjek (manusia) harus bisa memahami. Bahwa satu dintara presepektif tersebut adalah bersikap arif, memiliki akal budi dan unggul (homo sapiens). Sehingga pemahaman tersebut menjadikan kita hidup dan menjadi manusia bersubstantatif. Bijaksana terhadap diri sendiri (intrapersonal), orang lain (interpersonal), dan sosial (masyarakat). Selain berbagai prespektif tersebut manusia juga disebut sebagai makhluk sosial. Makhluk kondepedensi. Saling ketergantungan antara satu dengan yang lain. Sehingga kondependensi menjadikan kita sebagai manusia untuk paham akan hal fundamental sebagai modal hidup bermasyarakat dan tentunya bermanfaat bagi sesama.
Dijelaskan dalam hadits tersebut, bahwa sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat bagi orang lain. Dijelaskan pula dalam buku manifesto gerakan intelektual profetik, bahwa interprestasi dari kebermanfaatan adalah dimulai dari sadar terhadap diri sendiri, kemudian sadar, peka dan peduli terhadap realita sosial, pengaktualisasian diri dan evaluasi.
Sadar diri sendiri . .
Menjadi kebermanfaatan dalam bermasyarakat harus dimulai dari dalam diri setiap individu terlebih dahulu. Karena didalamnya terdapat anugerah yang telah diberikan oleh Allah SWT berupa potensi. Sehingga adanya penyadaran terhadap potensi yang dimiliki, maka potensi tersebut dapat dikembangkan menjadi sebuah eksistensi, dan menjadi makhluk yang sadar diri sebagai khalifah dan sebagai hamba yang dilandasi rasa cinta antar sesama.
Sadar terhadap realitas sosial
Setelah sadar akan potensi yang dimiliki, maka saatnya untuk sadar terhadap eksternal. Yaitu kesadaran akan bersosial dengan sesama manusia. Hal ini dituntut untuk mengenal dan memahami budaya dari satu sama lain, agar nantinya sikap kerukunan dan kekeluargaan lahir dan terbangun.
Peka Terhadap Realita Sosial
Ketika menjadi bagian dari realitas sosial, maka sudah hukum alam jika menemui suatu masalah atau melihat kontradiksi dalam hal, baik; agama, sosial, ekonomi, pendidikan, dll. Maka dari itu, dalam membangun sikap kebermanfaatan dalam bermasyarakat, peka terhadap kontradiksi-kontradiksi tersebut sangat penting untuk dianalisa. Sehingga munculah statement asal muasal masalah dan solusi untuk pembenahan tehadap masalah-masalah tersebut.
Peduli Terhadap realita Sosial
Sikap peduli merupakan kelanjutan dari sadar diri, sadar terhadap realita dan peka terhadap realita sosial. Dan bersikap peduli harus dimunculkan, karena kepedulian merupakan hasrat, ketetapan hati, dan komitmen serta konsisten bahwa realita sosial harus benar-benar direkonstruksi demi menciptakan kondisi yang lebih baik. Selain itu, peduli juga merupakan ruh, sikap empati dan integritas.
Aktualisasi nyata sebagai respon terhadap realita sosial
Setelah berada dalam visi pertama yaitu sadar, peka dan peduli. Maka saatnya visi praktis (pengaktualisasian diri untuk merubah masalah menjadi solusi). Karena aktualisasi merupakan suatu bentuk pengabdian nyata dan sebagai penentuan wujud suatu perubahan.
Evaluasi
Sebagaimana perkataan bijak socrates, "hidup yang tak direfleksikan tak pantas untuk dijalani". Sehingga bentuk refleksi (eveluasi) terhadap perubahan realitas sosial harus diadakan. Karena eveluasi adalah sebagai lahan untuk mengetahui respon dari realita itu sendiri.
Ada 2 macam bentuk evaluasi, pertama adalah evaluasi secara personal. Yaitu dialog antara hati dan tindakan yang dilakukan sesuai dengan esensi ajaran agama, kemudian kedua adalah evaluasi diri sebagai bagian dari realitas sosial, merupakan sumbangsih kehadiran manusia yang berguna bagi sesama dan alam.
Bebagai prespektif filusuf terhadap penilaian makhluk "Manusia", maka sejatinya kita sebagai subjek (manusia) harus bisa memahami. Bahwa satu dintara presepektif tersebut adalah bersikap arif, memiliki akal budi dan unggul (homo sapiens). Sehingga pemahaman tersebut menjadikan kita hidup dan menjadi manusia bersubstantatif. Bijaksana terhadap diri sendiri (intrapersonal), orang lain (interpersonal), dan sosial (masyarakat). Selain berbagai prespektif tersebut manusia juga disebut sebagai makhluk sosial. Makhluk kondepedensi. Saling ketergantungan antara satu dengan yang lain. Sehingga kondependensi menjadikan kita sebagai manusia untuk paham akan hal fundamental sebagai modal hidup bermasyarakat dan tentunya bermanfaat bagi sesama.
Diriwayatkan dari Jabir berkata,”Rasulullah Shallallahualaihiwassalam
bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang
yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling
bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)
Sadar diri sendiri . .
Menjadi kebermanfaatan dalam bermasyarakat harus dimulai dari dalam diri setiap individu terlebih dahulu. Karena didalamnya terdapat anugerah yang telah diberikan oleh Allah SWT berupa potensi. Sehingga adanya penyadaran terhadap potensi yang dimiliki, maka potensi tersebut dapat dikembangkan menjadi sebuah eksistensi, dan menjadi makhluk yang sadar diri sebagai khalifah dan sebagai hamba yang dilandasi rasa cinta antar sesama.
Sadar terhadap realitas sosial
Setelah sadar akan potensi yang dimiliki, maka saatnya untuk sadar terhadap eksternal. Yaitu kesadaran akan bersosial dengan sesama manusia. Hal ini dituntut untuk mengenal dan memahami budaya dari satu sama lain, agar nantinya sikap kerukunan dan kekeluargaan lahir dan terbangun.
Peka Terhadap Realita Sosial
Ketika menjadi bagian dari realitas sosial, maka sudah hukum alam jika menemui suatu masalah atau melihat kontradiksi dalam hal, baik; agama, sosial, ekonomi, pendidikan, dll. Maka dari itu, dalam membangun sikap kebermanfaatan dalam bermasyarakat, peka terhadap kontradiksi-kontradiksi tersebut sangat penting untuk dianalisa. Sehingga munculah statement asal muasal masalah dan solusi untuk pembenahan tehadap masalah-masalah tersebut.
Peduli Terhadap realita Sosial
Sikap peduli merupakan kelanjutan dari sadar diri, sadar terhadap realita dan peka terhadap realita sosial. Dan bersikap peduli harus dimunculkan, karena kepedulian merupakan hasrat, ketetapan hati, dan komitmen serta konsisten bahwa realita sosial harus benar-benar direkonstruksi demi menciptakan kondisi yang lebih baik. Selain itu, peduli juga merupakan ruh, sikap empati dan integritas.
Aktualisasi nyata sebagai respon terhadap realita sosial
Setelah berada dalam visi pertama yaitu sadar, peka dan peduli. Maka saatnya visi praktis (pengaktualisasian diri untuk merubah masalah menjadi solusi). Karena aktualisasi merupakan suatu bentuk pengabdian nyata dan sebagai penentuan wujud suatu perubahan.
Evaluasi
Sebagaimana perkataan bijak socrates, "hidup yang tak direfleksikan tak pantas untuk dijalani". Sehingga bentuk refleksi (eveluasi) terhadap perubahan realitas sosial harus diadakan. Karena eveluasi adalah sebagai lahan untuk mengetahui respon dari realita itu sendiri.
Ada 2 macam bentuk evaluasi, pertama adalah evaluasi secara personal. Yaitu dialog antara hati dan tindakan yang dilakukan sesuai dengan esensi ajaran agama, kemudian kedua adalah evaluasi diri sebagai bagian dari realitas sosial, merupakan sumbangsih kehadiran manusia yang berguna bagi sesama dan alam.