Kali ini, saya menulis lanjutan artikel
yang kemarin. Setelah membahas tentang media sosial dan kemunafikan didalamnya,
kali ini saya lebih memberi angin segar bahwa media sosial masih bisa
mempersatukan. Dan dipercaya. Terkait hal itu, tadi pagi saya melihat diberanda
banyak headline yang semuanya memberitakan kemenangan timnas Indonesia saat
lawan Singapura kemarin. Di bawahnya terdapat ragamnya bentuk komentar yang
tujuannya sama “Ucapan rasa terimah kasih”. Jadi setelah itu, saya
berkesimpulan bahwa “Perpecahan para penghuni Medsos ternyata dapat disatukan
dengan Sepak Bola”.
Namun sore-nya, saya berkesimpulan beda.
Karena baru ingat, lusa kemarin sempat membaca headline yang sama tentang
timnas Indonesia, saat itu melakoni kekalahan dilaga pertama lawan Thailand dan
skor imbang 1-1 lawan Filiphina. Saya melihat disitu ada banyak komentar yang
beragam. Tapi isinya kurang lebih sama dengan karakter komentar yang saya singgung
diartikel kemarin. Pesimisme terhadap timnas mereka lampiaskan dengan cara
mengkerdilkan dan menghujat satu sama lain. Tidak sedikit pula hujatan tersebut
dilontarkan kepada pemerintah, pelatih, maupun pemain. Sehingga melihat dua
fenomena tersebut saya berkesimpulan lain, “Perpecahan tidak bisa disatukan
hanya dengan sepakbola, tanpa sebuah kemenangan dan prestasi”.
Saya masih ingat ketika Indonesia masuk
final dipiala AFF 2010. Meskipun saat laga final dikalahkan oleh Malaysia, tapi
sebelum laga final digelar dari hulu sampai hilir tema yang diperbincangkan
sama yaitu “Harapan kemenangan di Final AFF 2010”. Saat itu berbagai media
sama-sama membangun optimisme. Ditambah lagi, 3 tahun berselang kemenangan
timnas U19 dipiala AFF 2013. Yang euforianya larut-larut sampai beminggu-minggu
sampai-sampai perpecahan seperti tidak pernah terjadi. Kepentingan elit politik terkubur sementara oleh media
yang headle-nya dipenuhi berita kemenangan.
Setelah pencapaian itu, harapan masyarakat terhadap
estafet kemenangan sangat besar. Mereka menganggap bahwa pencapaian tersebut merupakan langkah awal setelah lama mengalami puasa gelar. Tapi sayang sekali, harapan tersebut terpaksa
dihancurkan oleh cukong-cukong para elit politik. Sanksi fifa membuat Indonesia
didiskualifikasi dari piala AFF 2014. Laga kompetisi lokal pun terpaksa
dihentikan. Saat itu sebagain pemain sepak bola banyak yang beralih profesi.
Mirisnya lagi ada yang beralih hingga rela menjadi pedagang asongan.
Dan Alhamdulillah, hari ini masa sanksi
telah Usai. Indonesia kini sudah berlaga kembali dengan atribut yang sama merah
putih. Harapan besar telah kembali. Saya percaya sejarah mungkin berulang.
Ditahun 1938 Indonesia (Hindia-Belanda) pernah mengalahkan Jepang dengan skor
7-1, saat berlaga dipiala dunia, 1996-200-2004-2007 Indonesia mampu berlayar
dipiala Asia. Kemenangan besar pun pernah diraih dengan skor telak 12 – 0 saat
melawan Filipina di (Soeul, Korea
Selatan). Dan hari ini, Indonesia kembali masuk semifinal di piala AFF 2016
(Filiphina) setelah mengakhiri laga penyisihan atas singapura dengan skor 2-1.
Oleh karena itu harapan saya cuma satu, kalian para elit yang egoisme-nya tinggi jangan lagi merenggut harapan besar anak bangsa. Biarkan timnas Indonesia
bisa mengakhiri kompetisi piala AFF 2016 sebagai juara. Sekaligus menjadi modal awal dalam merawat keberagaman dan persatuan. Sebab kalau boleh
jujur, saya merasa suntuk dengan obrolan akhir-akhir ini yang memicu perpecah
belahan. Saling menghujat sana sini, penistaan lintas agama, rush money, dsb. Ditambah lagi dengan obrolan politik yang menurut saya
membosankan. Sehingga kemenanganlah saat ini yang saya pikir bisa mengembalikan
media pada keorisinilan-nya. Dan mengembalikan kembali harapan yang kian lama terkikis serta merajutkan kebinekaan
dari lintas masyarakat.
Sabtu, 26 November 2016
Perum Sekar putih, Karangploso
Sabtu, 26 November 2016
Perum Sekar putih, Karangploso