Pages

Selasa, 30 September 2014

Rerumputan tak lagi berwarna

Dalam hening, ku terbayang pancaran wajah syahdu 4 tahun silam. Tertegun malu terpanah senyum khas gadis jelita. Lengkuk tubuh indah terbalut kain berona hitam, paras kalem terbungkus kerudung putih bercorak kembang. Berdiri dengan tubuh anggunnya. Sungguh indah paras gadis itu. tertera 2 butir mata yang menyejukkan. Lesung pipi kiri dan kanan meneduhkan. Bibir tipis menyejukkan hati yang bersemayam dibalik tirai.

Masih terniang jelas, saat itu aku, kamu dan kita berdiri dibawah gelapnya awang-awang. Jajaran rumah tenda terpampang mengelilingi barisan rapi kita, deretan berkaos hitam, celana pernak-pernik berdiri menghadap barisan tak tergoyahkan, bagai paskibra siap melangkah dilapangan upacara bendera. Jarak raga 2 insan kini semakin lengket.  Tapi rasa di hati  tak juga berpadu,. Tersadar, karena ikatan yang telah kau ikatkan. Bukan untukku, bukan pula untuk kita, tapi untuk dia, seperti senja yang menjilma.  Sakit terasa didalam,  laksana cintaku bertepuk sebelah tangan. Ku coba mempias harapan silam,  terputuskan juga seketika itu. Sembari hati kecilku berkata. "Tak apalah semua itu terjadi, biarkan aku kokoh, tegap dan kuat berdiri dalam kesendirian". Berdiri dengan kepalaku yang mulai menunduk lelah, melihat rerumputan yang tak lagi berwarna, laksana hati yang tertutup kabut hitam dan tak lagi terang,. sungguh ironis. . malam itu, raga dan rasaku tak memiliki daya lagi.

Melihatmu, ingin sesekali ragaku mendekati dan berbisik lirih . "Aku sungguh mengagumimu kasih " . . . tapi ..itu hanyalah bisikan yang hanya menggeliat dalam angan. Aku tak mampu, aku malu dan terasa berat lidahku melafalkan kalimat indah itu. Padahal hati sudah meronta-meronta, sungguh sangat ingin mengungkapkan, biar lepas tanpa beban.

Lagi-lagi gelapnya malam menjadi pemerhati. Mengetahui setiap kalimat yang tersimpan rapi di hati kecilku .  Malam menatap tajam mataku yang sedang menatap keindahan parasnya. Tersipu, tapi ya sudahlah karena mata ini sungguh tak ingin terpejam. Semakin hening, jam malampun tiba. Barisan rapi kini hilang bagai rumah tersapu tsunami. Barisan berona hitam kini sembunyi dibalik tirai, tak seorangpun boleh bersuara keras, hanya terdengar bisik dan membising. Terebahkan raga serta batin diatas poros kain berona jingga. dibawah bentuk segita yang tak lagi sama kaki. Sentuhan kain dan kulit terasa. Biarkan aku memulai tidur lelapku dengan merindukan gadis itu. Sehingga tak tersadari, aku pun terlelap karena sentuhan olah rasa dan tekhnik savana.

Kicauan burung terdengar, semilir air embun menempel kain tenda. Ayam berkokoh dengan nadah khasnya, kini fajar datang membawa 2 kabar berita. Antara sedih dan gembira. , Sentuhan alam pagi itu tak lagi bersahabat, dingin menembus pori-pori kulitku yang tersaput 2 lapis kain. Terdiam, hati kecilku bertanya??? Apa mungkin desa asriku menjilma seperti suhu ranu kumbolo, titik wilayah terdingin di pula Jawa. Tidak, "jawabku sendiri". rasanya itu hanya khayalan pemuda yang terdiam lesu, getir jiwanya karena cinta bertolak sebelah tangan .