Akhir-akhir
ini sering terdengar statement masyarakat terkait pro dan anti cina. Hal ini dipicu
oleh bertambahnya jumlah imigran Cina yang datang ke Indonesia. Masuknya
imigran tersebut diduga akan menjadi ancaman bagi pribumi sebagai kompetitor tenaga
kerja. Dugaan tersebut, sontak ditanggapi oleh Presiden Jokowi. Inti tanggapan
Presiden adalah Imigran Cina datang ke Indonesia bukan menjadi Tenaga Kerja
melainkan sebagai wisatawan (Touris). Disisi lain, Ada yang mengatakan bahwa
masuknya imigran Cina tersebut sebagai utang balas budi. Karena utang Indonesia
kepada Cina selama periode Januari 2011-Januari 2016 mengalami pertumbuhan
383,97 persen. Seingga lahirlah hubungan simbiosis mutualisme. Mesranya
hubungan keduanya, juga dapat diamati dari setiap pembangunan proyek negara,
pemerintah melibatkan Cina sebagai produsen atau investor.
Kalau
dikaji ulang. Sebenarnya sejak tahun 1860 sudah ada 222.000 orang Cina di
Indonesia. Mereka berbondong bondong ke Indonesia dikarenakan oleh tanahnya
seberang, subur nan kaya. Selama 70 tahun berikutnya, arus kedatangan orang
Cina ke Indonesia semakin deras. Pada 1905 jumlahnya mencapai 563.000 orang. Dan,
ketika masa kemerdekaan. Banyak masyarakat yang tidak tahu bahwa Orang-orang
Cina juga urun tangan dalam memerdekakan Indonesia. Mingguan Sin Po bulan November 1928 adalah yang
pertama berani mempublikasi teks “Indonesia Raya” Ciptaan W.R Supratman. Selain
itu, sumbangsih orang-orang Tionghoa adalah ikut bertempur, penyediaan logistik
dan persenjataan. Bahkan, Liem Sioe Liong (Pengusaha asli Cina) dulunya pernah
menyembunyikan seorang buronan Belanda oleh Tionghoa Cong Siang Hwee (Organisasi
pedagang antar-Cina). Ternyata orang yang menjadi buronan Belanda tersebut
adalah Hasan Din, seorang tokoh Muhammadiyah, ayahanda Fatmawati dan mertua
Presiden Soekarno.
Hubungan
harmonis seakan-akan terjalin diantara keduanya. Namun, jika diteliti secara
mendalam, sepertinya ada orientasi lain dari terjalinnya hubungan tersebut. Hal
itu dapat dilihat dari orang-orang Cina yang semakin menguasai perekenomoian di
Indonesia. Liem Sioe Liong dulu sampai hari ini menjadi pendiri diberbagai
perusahaan Indonesia. Didirikannya PT Bogasari, disusul Bogawari (Perusahaan
pengangkutan), Indofood, dan Indocement. Meski sempat ambruk pada saat krisis
moneter 1998. Namun, berselang setelah itu perusahaan-perusahaan Cina totok
(Liem Sio Long) tersebut bisa kembali survival. Masih banyak lagi Orang Cina
yang nyaris berkuasa disektor ekonomi. Dan, sekarang Cina sudah mulai masuk, di
sektor perpolitikan Indonesia. Mereka mulai mendominasi di berbagai daerah.
Bahkan, ada yang sampai ditingkat pencalonan menjadi pemimpin Kota atau
Propinsi. Sehingga, jika dianalisis penguasaan Cina diberbagai sektor tersebut
semakin mengkhawatirkan. Besar kemungkinan sumberdaya milik Indonesia dapat
dikuasai apabila diberi kelonggaran secara terus menerus.
Ironisnya
lagi, baru kemarin sempat beredar berita terbaru tentang berkibarnya bendera
Cina di penjuru Indonesia. Lokasinya di Pulau Obi, Ternate,
Maluku Utara tengah dalam acara peletakan
batu pertama (ground breaking) proyek smelter milik PT
Wanatiara Persada. Memang proyek tersebut
banyak melibatkan pekerja Cina. Setelah, mendengar berita itu masyarakat pribumi
semakin geram. Sebab dilihat diberbagai sektor orang-orang Cina sudah mulai
masuk. Ekspansi produk Cina yang kian meluas, politisi, tenaga kerja berdarah
Cina semakin marak. Karena itu, munculah berbagai prespektif yang menganggap
bahwa Cina semakin berkuasa di bumi Indonesia. Akibatnya kekhawatiran itu mulai
muncul. Lahirlah sebuah kelompok yang menyuarakan “hati-hati dengan Cina”.
Kekecewaan ditudingkan dengan mengklaim pemerintah telah memberi jalan terbuka
buat imigran. Kemudian, tudingan lain pemerintah diperingatkan jangan sampai menjadikan BUMN (Badan Usaha
Milik Negara) sebagai tumbal.
Melihat ekspansi Cina yang semakin meluas, Persatuan warga pribumi harus digalakkan. Bukan semata-mata karena diskriminatif. Tetapi rasa kepemilikan terhadap bangsa harus dijunjung tinggi. Jangan sampai, Indonesia beralih seperti Singapura. Saat Lee Kuan Yew sanggup memakai songkok pada awal karirnya ketika bertemu penduduk Melayu di Kampung Tani, Singapura 1965. Orientasi Lee Kuan Yew saat itu adalah menjadi pemimpin sehingga berusaha mengambil hati pribumi dengan mendekati mereka dan berberpakaian songkok Islami khas Pribumi. Dan saat sudah berkuasa, Pribumi melayu di Singapura terjajah hak-haknya di Negeri sendiri hingga aturan resmi tidak boleh menjabat di Pemerintahan.
Melihat ekspansi Cina yang semakin meluas, Persatuan warga pribumi harus digalakkan. Bukan semata-mata karena diskriminatif. Tetapi rasa kepemilikan terhadap bangsa harus dijunjung tinggi. Jangan sampai, Indonesia beralih seperti Singapura. Saat Lee Kuan Yew sanggup memakai songkok pada awal karirnya ketika bertemu penduduk Melayu di Kampung Tani, Singapura 1965. Orientasi Lee Kuan Yew saat itu adalah menjadi pemimpin sehingga berusaha mengambil hati pribumi dengan mendekati mereka dan berberpakaian songkok Islami khas Pribumi. Dan saat sudah berkuasa, Pribumi melayu di Singapura terjajah hak-haknya di Negeri sendiri hingga aturan resmi tidak boleh menjabat di Pemerintahan.