Pages

Rabu, 30 November 2016

Ada apa dengan Cina?


Akhir-akhir ini sering terdengar statement masyarakat terkait pro dan anti cina. Hal ini dipicu oleh bertambahnya jumlah imigran Cina yang datang ke Indonesia. Masuknya imigran tersebut diduga akan menjadi ancaman bagi pribumi sebagai kompetitor tenaga kerja. Dugaan tersebut, sontak ditanggapi oleh Presiden Jokowi. Inti tanggapan Presiden adalah Imigran Cina datang ke Indonesia bukan menjadi Tenaga Kerja melainkan sebagai wisatawan (Touris). Disisi lain, Ada yang mengatakan bahwa masuknya imigran Cina tersebut sebagai utang balas budi. Karena utang Indonesia kepada Cina selama periode Januari 2011-Januari 2016 mengalami pertumbuhan 383,97 persen. Seingga lahirlah hubungan simbiosis mutualisme. Mesranya hubungan keduanya, juga dapat diamati dari setiap pembangunan proyek negara, pemerintah melibatkan Cina sebagai produsen atau investor.

Kalau dikaji ulang. Sebenarnya sejak tahun 1860 sudah ada 222.000 orang Cina di Indonesia. Mereka berbondong bondong ke Indonesia dikarenakan oleh tanahnya seberang, subur nan kaya. Selama 70 tahun berikutnya, arus kedatangan orang Cina ke Indonesia semakin deras. Pada 1905 jumlahnya mencapai 563.000 orang. Dan, ketika masa kemerdekaan. Banyak masyarakat yang tidak tahu bahwa Orang-orang Cina juga urun tangan dalam memerdekakan Indonesia. Mingguan Sin Po bulan November 1928 adalah yang pertama berani mempublikasi teks “Indonesia Raya” Ciptaan W.R Supratman. Selain itu, sumbangsih orang-orang Tionghoa adalah ikut bertempur, penyediaan logistik dan persenjataan. Bahkan, Liem Sioe Liong (Pengusaha asli Cina) dulunya pernah menyembunyikan seorang buronan Belanda oleh Tionghoa Cong Siang Hwee (Organisasi pedagang antar-Cina). Ternyata orang yang menjadi buronan Belanda tersebut adalah Hasan Din, seorang tokoh Muhammadiyah, ayahanda Fatmawati dan mertua Presiden Soekarno.

Hubungan harmonis seakan-akan terjalin diantara keduanya. Namun, jika diteliti secara mendalam, sepertinya ada orientasi lain dari terjalinnya hubungan tersebut. Hal itu dapat dilihat dari orang-orang Cina yang semakin menguasai perekenomoian di Indonesia. Liem Sioe Liong dulu sampai hari ini menjadi pendiri diberbagai perusahaan Indonesia. Didirikannya PT Bogasari, disusul Bogawari (Perusahaan pengangkutan), Indofood, dan Indocement. Meski sempat ambruk pada saat krisis moneter 1998. Namun, berselang setelah itu perusahaan-perusahaan Cina totok (Liem Sio Long) tersebut bisa kembali survival. Masih banyak lagi Orang Cina yang nyaris berkuasa disektor ekonomi. Dan, sekarang Cina sudah mulai masuk, di sektor perpolitikan Indonesia. Mereka mulai mendominasi di berbagai daerah. Bahkan, ada yang sampai ditingkat pencalonan menjadi pemimpin Kota atau Propinsi. Sehingga, jika dianalisis penguasaan Cina diberbagai sektor tersebut semakin mengkhawatirkan. Besar kemungkinan sumberdaya milik Indonesia dapat dikuasai apabila diberi kelonggaran secara terus menerus.

Ironisnya lagi, baru kemarin sempat beredar berita terbaru tentang berkibarnya bendera Cina di penjuru Indonesia. Lokasinya di Pulau Obi, Ternate, Maluku Utara tengah dalam acara peletakan batu pertama (ground breaking) proyek smelter milik PT Wanatiara Persada. Memang proyek tersebut banyak melibatkan pekerja Cina. Setelah, mendengar berita itu masyarakat pribumi semakin geram. Sebab dilihat diberbagai sektor orang-orang Cina sudah mulai masuk. Ekspansi produk Cina yang kian meluas, politisi, tenaga kerja berdarah Cina semakin marak. Karena itu, munculah berbagai prespektif yang menganggap bahwa Cina semakin berkuasa di bumi Indonesia. Akibatnya kekhawatiran itu mulai muncul. Lahirlah sebuah kelompok yang menyuarakan “hati-hati dengan Cina”. Kekecewaan ditudingkan dengan mengklaim pemerintah telah memberi jalan terbuka buat imigran. Kemudian, tudingan lain pemerintah diperingatkan  jangan sampai menjadikan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) sebagai tumbal.  

Melihat ekspansi Cina yang semakin meluas, Persatuan warga pribumi harus digalakkan. Bukan semata-mata karena diskriminatif. Tetapi rasa kepemilikan terhadap bangsa harus dijunjung tinggi. Jangan sampai, Indonesia beralih seperti Singapura. Saat Lee Kuan Yew sanggup memakai songkok pada awal karirnya ketika bertemu penduduk Melayu di Kampung Tani, Singapura 1965. Orientasi Lee Kuan Yew saat itu adalah menjadi pemimpin sehingga berusaha mengambil hati pribumi dengan  mendekati mereka dan berberpakaian songkok Islami khas Pribumi. Dan saat sudah berkuasa, Pribumi melayu di Singapura terjajah hak-haknya di Negeri sendiri hingga aturan resmi tidak boleh menjabat di Pemerintahan.