Upaya disentigrasi bangsa yang dilakukan suatu kelompok berkepentingan, kini semakin terakomodir. Hal ini menjadikan seluruh elemen bangsa harus bermawas diri. Sosialisasi terhadap wawasan kebangsaan dan nusantara harus semakin digalakkan. Sebagai landasan dasar dalam mengembalikan cara pandang terhadap suatu bangsa. Dengan cara menjadikan cita-cita dan tujuan nasional sebagai dasar berbangsa dan bernegara.
Menurunnya semangat kebangsaan adalah salah satu pemicu disentigrasi suatu bangsa. Setelah lama wawasan kebangsaan tersebut terbentuk. Sejak munculnya gerakan Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908. Kesadaran berbangsa semakin menguat. Pengikraran akan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia juga dilakukan oleh gerakan pemuda pada saat sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Berawal dari itu kesadaran berkebangsaan hingga melahirkan Indonesia yang berdaulat pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kesadaran akan cita-cita dan tujuan bangsa itu kini semakin memudar. Seakan-akan UUD (Undang-undang dasar) 1945 dan falsafah pancasila sekedar menjadi bacaan dalam upacara ritual. Padahal, didalam pedoman tersebut terdapat ideologi berbangsa dan bernegara, yang seharusnya dianut bagi siapapun yang berada dalam naungan negara. Sehingga untuk menginisiasi hal itu, sosialisasi ideologi bangsa dilakukan bukan hanya secara simbolik tapi disisipkan beserta substansinya.
Hidup berbangsa bernegara, secara umum telah diatur dalam ideologi pancasila. Bagiamana hubungan secara vertikal maupun horizontal. Namun, ideologi tersebut sukar diimplentasi tanpa adanya kesadaran secara massa. Alotnya menjadikan ideologi pancasila sebagai dasar, seringkali juga dipengaruhi sikap primordialisme. Menjadikan kemajemukan sebagai suatu kelemahan bukan sebuah kekuatan.
Padahal, kemajemukan suatu bangsa adalah anugerah. Apabila disadari dengan penuh toleransi. Dan menjadikan Ke "Bhinneka Tunggal Ika" an tidak sekedar semboyan. Tapi dasar pencapaian satu kesatuan. Selain itu, kemajemukan adalah sebagai bentuk ketahanan nasional. Sehingga, konflik antar suku bangsa, agama dan ras harus diminimalisir. Jangan saling menistakan satu sama lain. Sebab itu dapat memicu distengrasi suatu bangsa, yang kini semakin menjalar.
Dampak konflik tersebut, tentu berporos pada ketahanan suatu bangsa. Aktivitas ketahanan Bangsa yang telah didasarkan pada Landasan idiil : Pancasila, Landasan Konstitusional : UUD 1945 dan landasan visional : Wawasan Nusantara. Sehingga asas-asas ketahan nasional (tata laku) harus didasari dari nilai-nilai tersebut. Dalam hal ini asas pertama adalah kesejahteraan dan keamanan, asas komperhensif intergral, asas mawas kedalam maupun luar negri dan asas kekeluargaan. Untuk mencapai suatu asas ketahanan nasional itu, seluruh elemen harus bersatu padu baik dalam prilaku patuh maupun dalam visi kebangsaan.
Kesamaan presepsi
Mengambil istilah dari pak Anis Baswedan merajut “Tenun Kebangsaan”, yang berarti ber satu padu meski dari berbagai latar belakang. Istilah ini tentu proposional untuk disosialisasikan, sesuai dengan fenomena baru bangsa ini. Pembelaan, pertunjukkan ajang kekuatan dari masing-masing golongan atau kelompok yang semakin digencarkan. Sehingga lahirlah keengganan suatu bangsa dalam aksi bela negara. Padahal, sejatinya kecintaan terhadap suatu negara tersebut harusnya diatas kecintaan lainnya. Diatas kecintannya pada sebuah golongan dan kelompok tertentu.
Kesadaran masyarakat dalam suatu bangsa tidak bisa berdiri sendiri tanpa diimbangi oleh sikap pemerintah. Tidak mungkin menuntut suatu masyarakat berwawasan kebangsaan, disisi lain para pemimpin bangsa bersikap opportunistik. Sebab integrasi suatu bangsa itu bersifat menyeluruh. Dari hulu hingga kehilir. Dari para pemimpin bangsa hingga masyarakat. Tentu, sikap kebangsaan para pemimpin bangsa memiliki pengaruh besar terhadap sikap kebangsaan warga-nya.
Apabila para pemimpin tersebut adil dalam merumuskan dan memutuskan suatu kebijakan, maka tumbuh kewibawaan dalam pandangan masyarakat. Sebaliknya, jika para pemimpin bangsa mengkhianti masyarakatnya. Membuat kebijakan yang diluar kendalinya. Maka kesadaran berbangsa dan bernegara enggan diwujudkan. Untuk itu, kesamaan presepsi benar-benar menjadi prioritas utama dalam membela suatu negara. Sebagai dasar penyatuan sikap dalam suatu bangsa untuk memudahkan suatu bangsa dalam mencapai cita-cita yang telah di-amandemenkan.
Transparasi, Partisipasi dan Kepercayaan
Hidup yang tidak direfleksikan tidak pantas untuk dijalani. Pernyataan Socrates tersebut dapat dikontektualisasikan tidak hanya pada individu, melainkan pada sebuah bangsa. Sehingga refleksi kesadaran kebangsaan tersebut menjadi kewajiban pemerintahan selama dalam priodesasinya. Hal ini sebagai sarana integrasi suatu bangsa. Jangan sampai, kesadaran akan bela negara sekedar dijadikan agenda seremonial. Hanya dilakukan pada saat hari besar nasional. Padahal bela negara bukan sekedar agenda seperti itu, namun sebuah keyakinan asumsi dasar.
Bela negara dalam hal ini bermakna ganda. Bagaimana sebuah bangsa itu mengintegrasi secara internal dan antisipasi terhadap tekanan eksternal. Dua aspek tersebut menjadi satu kesatuan. Integrasi internal, artinya bagaimana seluruh elemen bangsa dapat merawat kekayaan yang dimiliki. Kekayaan budaya, agama, ras maupun kekayaan sumberdaya alam. Ini menjadi hal utama dalam membangun kekuatan bangsa. Sehingga, dengan integrasi secara internal tersebut bangsa ini menjadi tangguh. Mampu menghadapi tekanan-tekanan yang dilakukan oleh negara adidaya. Yang itu disebut bela negara secara eksternal.
Mengingat bela negara (internal-eksternal) yang sekarang sedang sakit. Secara internal yang mulai keropos, saling tuding satu sama lain dan secara eksternal juga demikian. kekayaan bangsa secara fisik terlihat nampak, namun sebagian besar telah dikendalikan oleh bangsa asing. Karenanya, kesadaran dari seluruh elemen bangsa harus segera dibangun. Dimulai dari proses pemerintahan haruslah dilakukan secara terbuka, dapat dikontrol oleh masyarakat. Pemerintah juga dituntut untuk mempertanggung jawabkan kewenangannya dihadapan rakyat dan hukum. Disilain partisipasi masyarakat harus dioptimalkan. Mengingat ini negara demokrasi (demos : kekuasaan, cratos : rakyat) yang berarti kekuasaan ada ditangan rakyat. Maka rakyat tidak boleh hanya dijadikan obyek, melainkan diperlakukan sebagai subjek yang harus dihargai. Pelibataan rakyat tersebut membuatnya semakin sadar kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebaliknya, masyarakat juga dituntut untuk mendukung dan percaya terhadap pemerintah. Agar, bangsa ini menjadi satu kesatuan. Tangguh dalam membela negara untuk mencapai tujuan bersama.
Athif, 05 Desember 2016